Cerita KPK Soal Mahar Partai dan Biaya Saksi Rp 2 miliar Saat Pilkada

Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan (tengah)
Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan (tengah). (Detikcom)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji seluk beluk dana kampanye pada gelaran pemilu kepala daerah (Pilkada) 2015 lalu. Melalui wawancara terhadap ratusan calon kepala daerah yang kalah, KPK diceritakan bahwa ada biaya yang nilainya tak kalah signifikan dari biaya kampanye.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, ongkos tersebut berupa biaya mahar kepada partai politik pengusung. Selain itu ada pula biaya saksi yang nilainya tak sedikit.



"Menurut responden, lebih signifikan sebelum kampanye, itu mereka mengeluarkan biaya mahar ke Parpol, dan sesudah kampanye mereka mengeluarkan biaya saksi di TPS," kata Pahala saat menggelar jumpa pers di KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (29/6/2016), seperti dilaporkan Detikcom.

"Biaya Pilkada di luar kampanye. signifikan nilainya terhadap total biaya Pilkada yang dikeluarkan Cakada. Biaya saksi bisa mencapai Rp 2 miliar untuk tingkat kabupaten," ujar Pahala menirukan pernyataan salah satu respondennya.

Pahala tak mengungkap kisaran besaran mahar yang diberikan respondennya kepada Parpol pengusung. Hanya saja ia menjelaskan bahwa besarnya mahar calon yang meminang partai dan yang dipinang, akan berbeda.

"Biaya terbesar adalah mahar partai yang dihitung berdasarkan jumlah kursi di DPRD. Biaya yang dikeluarkan sangat berbeda antara paslon yang dipinang partai, atau paslon yang meminang partai," jelasnya.

KPK melakukan wawancara terhadap 286 kepala daerah yang kalah saat maju di Pilkada 2015 lalu. Terkait dana kampanye, beberapa responden mengaku tak melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) ke KPUD.

"20 persen responden tidak melaporkan LPPDK. (Atau) ada biaya-biaya lain yang nilainya signifikan besar tapi tidak dimasukkan dalam LPPDK," tutur Pahala.

Hadir dalam jumpa pers adalah Komisioner KPU Ida Budhiati, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono, dan Sekjen Bawaslu Gunawan Suswantoro.

Motif Donatur Pilkada

PK mencari tahu apa motivasi para donatur ketika memberi sokongan dana kepada pasangan calon di Pilkada 2015. Hasilnya, diketahui bahwa motifnya mulai dari agar dimudahkan saat mengajukan perizinan hingga keamanan dalam menjalankan bisnis.

"65 persen bilang kemudahan perizinan dalam bisnis, 65 persen kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa," kata Pahala.

"61,5 persen keamanan dalam menjalankan bisnis, 60 persen kemudahan akses untuk menjabat di pemerintah daerah atau BUMD," lanjutnya.

KPK menjelaskan, terkait dana kampanye ini mayoritas kasusnya adalah donatur yang mendatangi calon kepala daerah. Di mana hanya 8 persen dari 286 responden yang diwawancara KPK yang mengatakan mereka yang aktif mencari donatur.

"42,3 persen ternyata donaturnya yang mendatangi calon. 29 persen responden memang tidak melakukan penggalangan dana. 19 persen mengaku kombinasi antara donatur yang aktif dan calon atau timsesnya yang menghubungi donatur. Hanya 8 persen yang mengaku calon yang aktif mencari sumbangan," jelas Pahala.

KPK kemudian merekomendasikan kepada KPU agar definisi biaya kampanye diperluas. Misalnya saja juga dimasukkan mengenai biaya mahar sebelum kampanye dan biaya saksi pasca kampanye.

"Untuk Bawaslu, Pawaslu dan Panwaslu, memperkuat peran pengawas saat pilkada berjalan sehingga pengawasan TPS dari Bawaslu itu efektif, dan tidak perlu mengeluarkan biaya saksi calonnya," ujar Pahala.

"Kita rekomendasikan untuk pencantuman sanksi pada peraturan yang ada terutama sanksi administratif berupa diskualifikasi. Kita melihat bahwa laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dan penggunaan dana kampanye itu tidak efektif dijalankan. Itu kita duga karena sanksinya kurang keras, enforcement-nya belum konsisten," paparnya.

Berdasarkan Peraturan KPU nomor 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye, ada beberapa batasan dana kampanye. Di antaranya perseorangan tidak boleh tidak boleh melebihi Rp 50 juta, kelompok atau badan hukum swasta Rp 500 juta maksimal, dan dana kampanye bersifat kumulatif selama penyelenggaraan kampanye.

Tanggapan KPU

Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, KPU harus mencari norma induk yang dapat mengatur hal tersebut. Hal tersebut disampaikan Ida usai mendengarkan hasil kajian KPK terkait dana kampanye di Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (29/6/2016).

"Kalau mau ditafsirkan lebih luas, kami harus mencari norma induk yang kemudian bisa menjadi rujukan KPU untuk memperluas pengaturan terkait laporan dana kampanye tidak hanya mencakup tahapan kampanye saja termasuk pra dan pasca," ujar Ida.

Ida kemudian menjelaskan mengenai biaya saksi yang dikeluarkan pasangan calon. Menurutnya, saat ini sudah ada 1 orang pengawas yang ditugaskan negara untuk mengawasi tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan terkait mahar politik, Ida berpendapat hal tersebut sudah ada pengaturan mengenai sanksi yang harus diberikan.

"Negara sudah hadir di TPS, diwakili oleh 1 orang pengawas TPS. Kalau misalnya ada calon yang tidak mampu menghadirkan saksi, ada wakil negara," kata Ida.

"Mahar politik UU juga sudah ada mengatur mengenai sanksi administrasi. Bisa dibatalkan apabila terbukti ada mahar politik dalam proses rekruitmen bakal-bakal calon melalui mekanisme internal parpol," tuturnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamer Foto Saat Jadi DJ, Puting Payudara Amel Alvi Mengintip

Putri Wulan Guritno, Shaloom Razade Pamer Foto Berbikini, Netizen Terkejut

Jokowi: Husni Kamil, Sosok yang Sangat Sederhana dan Berintegritas